Benda suci yang terkena najis mugholadzoh (anjing, babi, dan peranakannya), mungkin sebab terkena jilatannya, air kencingnya, keringatnya, atau tersentuh bagian tubuhnya disertai adanya basah-basah antara bagian tubuhnya dan benda yang tersentuhnya, dapat disucikan dengan 7 (tujuh) kali basuhan secara ta’abbudi setelah menghilangkan dzat najisnya. Andaikan bukan karena alasan ta’abbudi niscaya satu kali basuhan saja yang menghilangkan sifat-sifat najis mugholadzoh sudah mencukupi. Tujuh kali basuhan setelah hilangnya dzat najis ini sesuai dengan pendapat yang dikatakan oleh Syeh Ibnu Hajar dalam kitab Minhaj Qowim dan Sayyid Murghini dalam kitab Miftah Fallah Mubtadi sekiranya mereka berdua berkata, “Tujuh kali dihitung setelah hilangnya dzat najis. Jadi, basuhan yang menghilangkan dzat najis meskipun berulang kali dihitung sebagai satu kali basuhan. Dalam menghilangkan najis mugholadzoh cukup dengan tujuh kali basuhan meskipun misalnya jilatan mugholadzoh tersebut terjadi berulang kali atau meskipun najis mugholadzoh tersebut disertai dengan najis lain (baik mukhoffah atau mutawasitoh).” Pendapat yang dipedomani oleh ulama adalah pendapat yang dishohihkan oleh Nawawi. Mereka berkata, “Andaikan dzat najis tidak dapat hilang kecuali dengan misalnya enam kali basuhan maka enam kali basuhan tersebut dihitung sebagai satu kali basuhan.” Sedangkan Rofii menshohihkan dalam Syarah Shoghir yang berjudul Aziz ‘Ala Wajiz Lil Ghozali bahwa enam kali basuhan tersebut dalam contoh tetap dihitung sebagai enam kali basuhan. Pendapat ini dikuatkan oleh Isnawi dalam kitab Muhimmat al- Muhtaj. Bajuri berkata, “Adapun apabila sifat najis (bukan dzat najis) hanya dapat hilang dengan enam kali basuhan maka enam kali basuhan tersebut dihitung enam kali (bukan satu kali).” Syarat tujuh kali basuhan dalam menghilangkan najis mugholadzoh adalah bahwa salah satu dari tujuh kali basuhan tersebut dicampur dengan debu suci, meskipun basuhan yang terakhir, tetapi basuhan yang lebih utama dicampur dengannya adalah basuhan yang pertama. Baca juga: macam macam najis Kesimpulannya adalah bahwa percampuran basuhan air dengan debu dapat terjadi dengan 3 (tiga) kemungkinan cara, yaitu: tiga cara menghilangkan najis mughaladzah1. Air dan debu bercampur secara bersamaan. Lalu air campuran dibasuhkan pada tempat najis.
Cara ini adalah yang paling utama, bahkan Isnawi melarang cara mencampur air dan debu dengan cara selain ini. Dengan cara ini, apabila sifat-sifat najis masih ada tanpa ada benda (jirim) najisnya, kemudian air campuran debu dibasuhkan pada tempat sifat- sifat najis tersebut, maka apabila sifat-sifat najis dapat hilang dengan basuhan air campuran itu maka basuhan tersebut dihitung sebagai satu kali basuhan, tetapi apabila sifat-sifat najis itu tidak dapat hilang dengan basuhan itu maka yang dimaksud dengan kata ‘ain dalam pernyataan ulama, “Muzilul ‘Ain,” adalah satu kali basuhan meskipun tempat yang masih ada sifat-sifat najis itu banyak dan meskipun tidak ada bentuk jirim/benda najisnya. 2. Pertama-tama debu diletakkan di atas tempat najis, kemudian air dituangkan padanya, lalu air dan debu bercampur sebelum tempat najis terbasuh. Cara ini mensyaratkan jirim/benda najis dan sifat-sifatnya, yakni rasa, warna, dan bau, telah hilang terlebih dahulu sebelum ditaburi debu. 3. Cara yang ketiga ini adalah kebalikan dari cara yang kedua, yaitu pertama-tama air dituangkan ke tempat najis, kemudian ditaburi debu, dan akhirnya mereka bercampur sebelum tempat najis terbasuh, seperti yang telah disebutkan. Dalam cara ini, tidak disyaratkan sifat-sifat najis dan jirimnya hilang terlebih dahulu, karena air lebih kuat, bahkan air dapat menghilangkan sifat-sifat dan jirim najis tersebut. Adapun apabila debu yang lebih dulu ditaburkan maka disyaratkan harus menghilangkan sifat-sifat dan jirim najis tersebut terlebih dahulu, seperti yang telah disebutkan. Dalam cara kedua dan ketiga, tidak apa-apa jika basah-basah di tempat najis masih ada meskipun basah-basah tersebut najis karena air dan debu yang suci mensucikan yang mendatangi tempat najis tetap dalam sifat suci mensucikannya karena perkara yang mendatangi lebih kuat daripada perkara yang didatangi. Dalam menghilangkan najis mugholadzoh tidak cukup hanya dengan menaburinya debu tanpa disusul dengan dituangi air, dan tidak cukup dengan mencampurkan debu dengan selain air, dan tidak cukup dengan mencampurkan air dengan debu yang tidak suci mensucikan, misalnya; menghilangkan najis mugholadzoh dengan air yang dicampur dengan tumbuhan usynan, atau dengan air yang dicampur dengan debu najis atau mustakmal dalam tayamum ( baca: 5 rukun tayamum yang harus anda tahu) , atau dengan air yang dicampur dengan bekas basuhan-basuhan semisal najis anjing. Kata usynan (اﻷﺷﻨﺎن) bisa dengan dhommah atau kasroh atau fathah pada huruf /ء/. Ia adalah sejenis tumbuhan. Banyaknya debu yang wajib dicampurkan dengan air adalah seukuran yang sekiranya debu dapat mengeruhkan air dan debu bisa sampai ke seluruh tempat najis dengan perantara air. Air yang telah keruh, seperti air sungai Nil pada saat musim pasang dan air banjir, sebab terkena tanah, sudah mencukupi debu, artinya, tidak perlu dicampur dengan debu lagi. Apabila seseorang mencelupkan mutanajis (benda yang terkena najis) mugholadzoh ke dalam air banyak yang tenang, kemudian ia menggerak-gerakkannya sebanyak tujuh kali dan menaburinya debu, maka mutanajis tersebut dihukumi suci. Gerakan maju dihitung sebagai satu kali basuhan dan kembalinya dihitung sebagai basuhan berikutnya. Apabila ia tidak menggerak- gerakkannya dan ia menaburinya debu maka dihitung sebagai satu kali basuhan. Atau apabila seseorang mencelupkan mutanajis tersebut di air mengalir, kemudian mutanajis tersebut dilewati tujuh kali aliran air maka masing-masing aliran air dihitung satu kali basuhan. Adapun ketika mutanajis hanya didiamkan di dalam air banyak yang tenang (tanpa digerak-gerakkan) maka demikian itu dihitung sebagai satu kali basuhan meskipun diamnya di dalam air tersebut berlangsung lama. Tanah turobiah (yang sudah berdebu), yaitu tanah yang asalnya memang sudah ada debunya atau tanah yang terkena debu sebab hembusan angin, ketika terkena najis mugholadzoh tidak perlu ditat-rib (diberi debu) karena tidak ada gunanya mentat-rib debu, baik debu tersebut mustakmal atau mutanajis. Mengecualikan dengan tanah turobiah adalah tanah hajariah (yang berbatu) dan romaliah (yang berpasir) yang tidak ada debu disana, maka ketika dua tanah tersebut terkena najis mugholadzoh wajib diberi debu. Apabila ada sebagian tanah berdebu yang telah terkena najis mugholadzoh (sebut tanah A) berpindah ke tanah lainnya yang suci dan yang tidak berdebu (sebut tanah B), maka jika ingin mensucikan tanah A maka tidak wajib mentat-ribnya dan jika ingin mensucikan tanah B maka wajib mentat-ribnya. Kemudian apabila ada sebagian basuhan dari tanah yang bukan turobiah (sebut A) mengenai semisal pakaian yang terkena najis mugholadzoh (sebut B) maka B bisa dibasuh dengan basuhan- basuhan sisanya, jika basuhan yang mengenai A ternyata basuhan pertama berarti tinggal menambahkan 6 basuhan lagi, atau ternyata basuhan kedua berarti tinggal menambahkan 5 basuhan lagi dan seterusnya, tetapi harus disertai dengan tat-rib jika di tanah tersebut belum ada debu, jika sudah ada maka tidak perlu adanya tatrib. Mengecualikan dengan basuhan-basuhan sisanya adalah basuhan ketujuh maka tidak wajib membasuh pakaian jika terkena basuhan ketujuh tersebut. Apabila air tujuh basuhan dikumpulkan menjadi satu dalam semisal bejana (atau ember, bak), kemudian ada sebagian air keluar darinya dan mengenai semisal pakaian yang terkena najis mugholadzoh maka masih wajib membasuh pakaian tersebut dengan 6 kali basuhan lagi karena pakaian tersebut telah terkena basuhan pertama dan wajib mentat-rib salah satu dari 6 basuhan itu jika air pertama yang mengenai belum tercampur dengan debu. Kasus ini berlaku ketika air yang dikumpulkan itu belum mencapai dua kulah dan tidak mengalami perubahan, jika sudah mencapai dua kulah maka dihukumi sebagai air suci mensucikan. [FAEDAH] Ada sebuah pertanyaan tentang kasus apabila ada air kencing anjing mengenai tulang bangkai hewan yang bukan mugholadzoh (misal tulang bangkai kambing, sapi, dll), kemudian tulang tersebut dibasuh dengan 7 (tujuh) kali basuhan air yang tentu salah satu dari tujuh basuhan tersebut dicampur dengan debu, maka apakah tulang tersebut dapat suci dari najis mugholadzoh hingga sekiranya apabila ada pakaian basah mengenainya maka tidak perlu lagi mentasbik atau membasuh pakaian tersebut dengan tujuh kali basuhan dengan mencampurkan debu di salah satunya? Jawab, tulang tersebut tidak dapat suci dari najis mugholadzoh, yakni air kencing anjing, sehingga apabila ada pakaian basah mengenainya maka wajib mentasbik pakaian tersebut. Demikian ini dikutip oleh Mudabighi dari Ajhuri dan Ibnu Qosim.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. ArchivesCategories |