Fasal ini menjelaskan tentang hal-hal yang wajib dalam sujud. Sujud merupakan salah satu rukun shalat, yaitu gerakan shalat yang wajib dilakukan pada saat shalat. Agar sujud tersebut dianggap benar dan sah, maka penting bagi kita mengetahui syarat syarat sujud. Sujud menurut bahasa memiliki arti condong. Syarat-syarat sujud ada 7 (tujuh), bahkan lebih banyak, yaitu; Bersujud dengan bertumpu pada 7 anggota tubuhSyarat sujud pertama adalah bahwa sujud dilakukan dengan bertumpu pada 7 (tujuh) anggota tubuh, artinya 7 anggota ini harus menempel di atas lantai atau tempat sholat. Dasar syarat ini adalah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Saya diperintahkan untuk bersujud dengan bertumpu pada 7 anggota tubuh, yaitu [1] dahi, [2 dan 3] kedua tangan, [4 dan 5] kedua lutut, [6 dan 7] ujung jari-jari kaki (kiri dan kanan), dan aku tidak mengumpulkan pakaian dan rambut.” Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim. Dahi TerbukaSyarat sujud berikutnya adalah dahi terbuka kecuali apabila ada udzur, seperti adanya rambut yang tumbuh di atas dahi atau perban yang terbalut karena sakit sekiranya tidak memungkinkan untuk melepasnya. Apabila perban dipasang saat kondisi suci dari hadas dan dibawahnya tidak ada najis yang tidak dima’fu maka tidak perlu mengulangi sholat. Sebaliknya, jika perban dipasang saat kondisi hadas atau di bawahnya ada najis yang tidak dima’fu maka wajib mengulangi sholatnya. Lubang yang terbuka pada dahi dimana asalnya tertutup harus ditutupi. Apabila pada dahi terdapat kulit kering hingga tidak dapat merasa jika disentuh maka sujud bertumpu padanya dihukumi sah dan tidak dituntut untuk menghilangkan kulit mati tersebut meskipun tidak ada kesulitan untuk menghilangkannya. Menekan Dahi Syarat sujud berikutnya adalah menekan dahi saja dengan kepala, bukan menekan anggota-anggota sujud lain. Pengertian menekan disini adalah sekiranya berat kepala mengenai tempat sujud. Tidak Menyengaja Selain SujudSyarat sujud berikutnya adalah bahwa musholli turun untuk bersujud dengan menyengaja melakukan sujud. Oleh karena itu apabila musholli merasa kaget hingga ia bersujud maka sujudnya tidak sah dan ia harus kembali mengulanginya. Tidak bersujud di atas benda Benda yang berada di tubuh musholli / yang ikut bergerak karena gerakan musholli saat berdiriApabila musholli sholat dengan duduk, kemudian ia bersujud di atas benda yang tidak bergerak karena gerakannya saat duduk, akan tetapi benda tersebut akan bergerak andai ia sholat dengan berdiri maka tidak sah sujudnya. Termasuk benda yang muttasil yang bergerak karena gerakan musholli adalah bagian tubuhnya sendiri. Oleh karena itu, tidak sah bersujud di atas tangannya. Adapun benda yang munfasil,/Benda yang tidak berada di tubuh musholli seperti kayu atau sapu tangan di tangannya maka sah sujud di atasnya karena benda-benda tersebut tidak dianggap muttasil menurut ‘urf. Begitu juga, ujung serban yang panjang sekali dihukumi sebagai benda yang munfasil sekiranya tidak ikut bergerak karena gerakan musholli. Terangkatnya pantat dan sekitarnya melebihi kepala dan kedua pundak musholli.Syarat di atas mengecualikan kasus apabila musholli sholat di atas perahu dan ia tidak memungkinkan untuk mengangkat pantat melebihi kepala dan kedua pundaknya karena terombang-ambingnya perahu tersebut maka ia sholat sebisa mungkin. Akan tetapi, ia wajib mengulangi sholatnya karena demikian itu termasuk udzur nadir atau langka. Berbeda dengan kasus apabila musholli mengidap penyakit yang tidak memungkinkan baginya bersujud maka ia tidak wajib mengulangi sholatnya. Begitu juga dengan ibu hamil ketika ia sulit bersujud dengan mengangkat pantat dan sekitarnya melebihi kepala dan kedua pundaknya maka ia sholat sebisa mungkin dan tidak wajib mengulangi sholatnya. Selain itu, apabila musholli memiliki hidung mancung yang panjang dan hidungnya menghalang-halanginya untuk meletakkan dahi di atas tempat sujud maka ia bersujud sebisa mungkin dan tidak wajib mengulangi sholatnya. Tumakninah di dalam sujudDisyaratkan juga meletakkan 7 (anggota sujud) di atas tempat sholat dalam satu waktu. Apabila musholli meletakkan dahi, kemudian ia mengangkat dahinya, kemudian baru meletakkan tangannya, maka sujudnya belum mencukupi. Anggota SujudAnggota-anggota sujud ada 7 (tujuh)), yaitu;
Pertama; Dahi. Batas dahi dari segi panjang adalah bagian antara dua pelipis dan dari segi lebar adalah bagian antara tempat tumbuh rambut kepala dan kedua alis. Mengecualikan dengan dahi adalah jabin, yaitu bagian samping dahi dari dua arah, maka tidak cukup kalau hanya meletakkan jabin saja, tetapi disunahkan meletakkannya. Kedua dan ketiga; Bagian dalam kedua telapak tangan. Maksud telapak tangan disini adalah bagian yang dapat membatalkan wudhu saat disentuhkan pada farji. Oleh karena itu, dalam sujud, dicukupkan hanya dengan meletakkan sebagian jari-jari saja dan sebagian telapak tangan saja di atas lantai, bukan selain keduanya. Keempat dan kelima: Dua lutut. Keenam dan ketujuh; adalah bagian dalam jari-jari kedua kaki. Dari tujuh anggota sujud ini, masing-masing darinya dianggap cukup meskipun hanya meletakkan sebagian saja walaupun satu jari, misalnya; satu jari dari tangan, atau satu jari dari kaki. Akan tetapi meletakkan hanya sebagian dari masing-masing 7 anggota ini hukumnya makruh. Apabila telapak tangan atau jari-jari terpotong maka tidak wajib meletakkan sisanya, melainkan sunah. Apabila musholli diciptakan tanpa memiliki telapak tangan atau jari-jari maka ia wajib meletakkan bagian perkiraannya. Ketika sujud, disunahkan bagi laki-laki dan perempuan membuka kedua telapak tangan. Sedangkan hanya bagi laki-laki dan perempuan amat disunahkan membuka bagian dalam jari-jari kedua kaki. Adapun bagi selain mereka berdua wajib menutup bagian dalam jari-jari kedua kaki. Dimakruhkan bagi laki-laki dan perempuan amat membuka kedua lutut saat sujud. Ketika sujud, musholli disunahkan meletakkan anggota-anggota sujud secara tertib, artinya ia meletakkan kedua lutut terlebih dahulu, kemudian kedua telapak tangan, kemudian dahi dan hidung secara bersamaan. Meletakkan hidung secara bersamaan dengan dahi adalah sunah mutaakkidah atau sangat disunahkan. Tidak cukup kalau hanya meletakkan hidung saja karena yang menjadi syarat adalah meletakkan dahi. Disunahkan hidung yang diletakkan adalah dengan kondisi terbuka. Apabila musholli bersujud dengan tidak tertib seperti yang telah disebutkan, atau ia hanya meletakkan dahi saja tanpa disertai hidung, maka hukumnya makruh karena mempertahankan pendapat tentang kewajiban meletakkan hidung. Dalam masalah tertib dalam sujud, Imam Malik berpendapat lain. Ia memaksudkan tertib dengan meletakkan kedua telapak tangan terlebih dahulu, kemudian baru kedua lutut.
0 Comments
Benda suci yang terkena najis mugholadzoh (anjing, babi, dan peranakannya), mungkin sebab terkena jilatannya, air kencingnya, keringatnya, atau tersentuh bagian tubuhnya disertai adanya basah-basah antara bagian tubuhnya dan benda yang tersentuhnya, dapat disucikan dengan 7 (tujuh) kali basuhan secara ta’abbudi setelah menghilangkan dzat najisnya. Andaikan bukan karena alasan ta’abbudi niscaya satu kali basuhan saja yang menghilangkan sifat-sifat najis mugholadzoh sudah mencukupi. Tujuh kali basuhan setelah hilangnya dzat najis ini sesuai dengan pendapat yang dikatakan oleh Syeh Ibnu Hajar dalam kitab Minhaj Qowim dan Sayyid Murghini dalam kitab Miftah Fallah Mubtadi sekiranya mereka berdua berkata, “Tujuh kali dihitung setelah hilangnya dzat najis. Jadi, basuhan yang menghilangkan dzat najis meskipun berulang kali dihitung sebagai satu kali basuhan. Dalam menghilangkan najis mugholadzoh cukup dengan tujuh kali basuhan meskipun misalnya jilatan mugholadzoh tersebut terjadi berulang kali atau meskipun najis mugholadzoh tersebut disertai dengan najis lain (baik mukhoffah atau mutawasitoh).” Pendapat yang dipedomani oleh ulama adalah pendapat yang dishohihkan oleh Nawawi. Mereka berkata, “Andaikan dzat najis tidak dapat hilang kecuali dengan misalnya enam kali basuhan maka enam kali basuhan tersebut dihitung sebagai satu kali basuhan.” Sedangkan Rofii menshohihkan dalam Syarah Shoghir yang berjudul Aziz ‘Ala Wajiz Lil Ghozali bahwa enam kali basuhan tersebut dalam contoh tetap dihitung sebagai enam kali basuhan. Pendapat ini dikuatkan oleh Isnawi dalam kitab Muhimmat al- Muhtaj. Bajuri berkata, “Adapun apabila sifat najis (bukan dzat najis) hanya dapat hilang dengan enam kali basuhan maka enam kali basuhan tersebut dihitung enam kali (bukan satu kali).” Syarat tujuh kali basuhan dalam menghilangkan najis mugholadzoh adalah bahwa salah satu dari tujuh kali basuhan tersebut dicampur dengan debu suci, meskipun basuhan yang terakhir, tetapi basuhan yang lebih utama dicampur dengannya adalah basuhan yang pertama. Baca juga: macam macam najis Kesimpulannya adalah bahwa percampuran basuhan air dengan debu dapat terjadi dengan 3 (tiga) kemungkinan cara, yaitu: tiga cara menghilangkan najis mughaladzah1. Air dan debu bercampur secara bersamaan. Lalu air campuran dibasuhkan pada tempat najis.
Cara ini adalah yang paling utama, bahkan Isnawi melarang cara mencampur air dan debu dengan cara selain ini. Dengan cara ini, apabila sifat-sifat najis masih ada tanpa ada benda (jirim) najisnya, kemudian air campuran debu dibasuhkan pada tempat sifat- sifat najis tersebut, maka apabila sifat-sifat najis dapat hilang dengan basuhan air campuran itu maka basuhan tersebut dihitung sebagai satu kali basuhan, tetapi apabila sifat-sifat najis itu tidak dapat hilang dengan basuhan itu maka yang dimaksud dengan kata ‘ain dalam pernyataan ulama, “Muzilul ‘Ain,” adalah satu kali basuhan meskipun tempat yang masih ada sifat-sifat najis itu banyak dan meskipun tidak ada bentuk jirim/benda najisnya. 2. Pertama-tama debu diletakkan di atas tempat najis, kemudian air dituangkan padanya, lalu air dan debu bercampur sebelum tempat najis terbasuh. Cara ini mensyaratkan jirim/benda najis dan sifat-sifatnya, yakni rasa, warna, dan bau, telah hilang terlebih dahulu sebelum ditaburi debu. 3. Cara yang ketiga ini adalah kebalikan dari cara yang kedua, yaitu pertama-tama air dituangkan ke tempat najis, kemudian ditaburi debu, dan akhirnya mereka bercampur sebelum tempat najis terbasuh, seperti yang telah disebutkan. Dalam cara ini, tidak disyaratkan sifat-sifat najis dan jirimnya hilang terlebih dahulu, karena air lebih kuat, bahkan air dapat menghilangkan sifat-sifat dan jirim najis tersebut. Adapun apabila debu yang lebih dulu ditaburkan maka disyaratkan harus menghilangkan sifat-sifat dan jirim najis tersebut terlebih dahulu, seperti yang telah disebutkan. Dalam cara kedua dan ketiga, tidak apa-apa jika basah-basah di tempat najis masih ada meskipun basah-basah tersebut najis karena air dan debu yang suci mensucikan yang mendatangi tempat najis tetap dalam sifat suci mensucikannya karena perkara yang mendatangi lebih kuat daripada perkara yang didatangi. Dalam menghilangkan najis mugholadzoh tidak cukup hanya dengan menaburinya debu tanpa disusul dengan dituangi air, dan tidak cukup dengan mencampurkan debu dengan selain air, dan tidak cukup dengan mencampurkan air dengan debu yang tidak suci mensucikan, misalnya; menghilangkan najis mugholadzoh dengan air yang dicampur dengan tumbuhan usynan, atau dengan air yang dicampur dengan debu najis atau mustakmal dalam tayamum ( baca: 5 rukun tayamum yang harus anda tahu) , atau dengan air yang dicampur dengan bekas basuhan-basuhan semisal najis anjing. Kata usynan (اﻷﺷﻨﺎن) bisa dengan dhommah atau kasroh atau fathah pada huruf /ء/. Ia adalah sejenis tumbuhan. Banyaknya debu yang wajib dicampurkan dengan air adalah seukuran yang sekiranya debu dapat mengeruhkan air dan debu bisa sampai ke seluruh tempat najis dengan perantara air. Air yang telah keruh, seperti air sungai Nil pada saat musim pasang dan air banjir, sebab terkena tanah, sudah mencukupi debu, artinya, tidak perlu dicampur dengan debu lagi. Apabila seseorang mencelupkan mutanajis (benda yang terkena najis) mugholadzoh ke dalam air banyak yang tenang, kemudian ia menggerak-gerakkannya sebanyak tujuh kali dan menaburinya debu, maka mutanajis tersebut dihukumi suci. Gerakan maju dihitung sebagai satu kali basuhan dan kembalinya dihitung sebagai basuhan berikutnya. Apabila ia tidak menggerak- gerakkannya dan ia menaburinya debu maka dihitung sebagai satu kali basuhan. Atau apabila seseorang mencelupkan mutanajis tersebut di air mengalir, kemudian mutanajis tersebut dilewati tujuh kali aliran air maka masing-masing aliran air dihitung satu kali basuhan. Adapun ketika mutanajis hanya didiamkan di dalam air banyak yang tenang (tanpa digerak-gerakkan) maka demikian itu dihitung sebagai satu kali basuhan meskipun diamnya di dalam air tersebut berlangsung lama. Tanah turobiah (yang sudah berdebu), yaitu tanah yang asalnya memang sudah ada debunya atau tanah yang terkena debu sebab hembusan angin, ketika terkena najis mugholadzoh tidak perlu ditat-rib (diberi debu) karena tidak ada gunanya mentat-rib debu, baik debu tersebut mustakmal atau mutanajis. Mengecualikan dengan tanah turobiah adalah tanah hajariah (yang berbatu) dan romaliah (yang berpasir) yang tidak ada debu disana, maka ketika dua tanah tersebut terkena najis mugholadzoh wajib diberi debu. Apabila ada sebagian tanah berdebu yang telah terkena najis mugholadzoh (sebut tanah A) berpindah ke tanah lainnya yang suci dan yang tidak berdebu (sebut tanah B), maka jika ingin mensucikan tanah A maka tidak wajib mentat-ribnya dan jika ingin mensucikan tanah B maka wajib mentat-ribnya. Kemudian apabila ada sebagian basuhan dari tanah yang bukan turobiah (sebut A) mengenai semisal pakaian yang terkena najis mugholadzoh (sebut B) maka B bisa dibasuh dengan basuhan- basuhan sisanya, jika basuhan yang mengenai A ternyata basuhan pertama berarti tinggal menambahkan 6 basuhan lagi, atau ternyata basuhan kedua berarti tinggal menambahkan 5 basuhan lagi dan seterusnya, tetapi harus disertai dengan tat-rib jika di tanah tersebut belum ada debu, jika sudah ada maka tidak perlu adanya tatrib. Mengecualikan dengan basuhan-basuhan sisanya adalah basuhan ketujuh maka tidak wajib membasuh pakaian jika terkena basuhan ketujuh tersebut. Apabila air tujuh basuhan dikumpulkan menjadi satu dalam semisal bejana (atau ember, bak), kemudian ada sebagian air keluar darinya dan mengenai semisal pakaian yang terkena najis mugholadzoh maka masih wajib membasuh pakaian tersebut dengan 6 kali basuhan lagi karena pakaian tersebut telah terkena basuhan pertama dan wajib mentat-rib salah satu dari 6 basuhan itu jika air pertama yang mengenai belum tercampur dengan debu. Kasus ini berlaku ketika air yang dikumpulkan itu belum mencapai dua kulah dan tidak mengalami perubahan, jika sudah mencapai dua kulah maka dihukumi sebagai air suci mensucikan. [FAEDAH] Ada sebuah pertanyaan tentang kasus apabila ada air kencing anjing mengenai tulang bangkai hewan yang bukan mugholadzoh (misal tulang bangkai kambing, sapi, dll), kemudian tulang tersebut dibasuh dengan 7 (tujuh) kali basuhan air yang tentu salah satu dari tujuh basuhan tersebut dicampur dengan debu, maka apakah tulang tersebut dapat suci dari najis mugholadzoh hingga sekiranya apabila ada pakaian basah mengenainya maka tidak perlu lagi mentasbik atau membasuh pakaian tersebut dengan tujuh kali basuhan dengan mencampurkan debu di salah satunya? Jawab, tulang tersebut tidak dapat suci dari najis mugholadzoh, yakni air kencing anjing, sehingga apabila ada pakaian basah mengenainya maka wajib mentasbik pakaian tersebut. Demikian ini dikutip oleh Mudabighi dari Ajhuri dan Ibnu Qosim. [Fasal ini menjelaskan] tentang rukun-rukun tayamum. Tayamum disebut juga dengan istilah mutohir mubih (perkara yang mensucikan yang memperbolehkan). [Fardhu-fardhu] atau rukun-rukun tayamum ada 5. Syarqowi berkata bahwa pendapat muktamad menyebutkan bahwa rukun-rukun tayamum ada 7 (tujuh) dengan menghitung debu dan qosdu (menyengaja) sebagai masing-masing rukun tersendiri. Adapun air tidak dihitung sebagai salah satu rukun wudhu atau mandi karena air tidak dikhususkan hanya dalam wudhu dan mandi, artinya wudhu dan mandi dapat digantikan dengan debu dalam tayamum. Berbeda dengan debu maka ia hanya digunakan secara khusus dalam tayamum. Memindah debu saja belum mencukupi jika tanpa disertai dengan qosdu meskipun memindah debu sendiri akan menetapkan adanya qosdu. Yang dimaksud dengan qosdu adalah menyengaja debu untuk memindahnya. Jadi qosdu tersebut bukan berarti niat tayamum, yaitu niat istibahah atau agar diperbolehkan melakukan semisal sholat. Memindahkan debuMaksudnya, rukun tayamum pertama adalah mutayamim memindah debu (1) meskipun dari wajah satu ke wajah yang lain, misalnya; ada angin menghamburkan debu dan mengenai wajah mutayamim, lalu ia menghilangkan debu tersebut dari wajahnya dan mengembalikannya lagi ke wajahnya. (2) Atau meskipun dari wajah ke tangan, misalnya; mutayamim telah mengusap wajah, kemudian ada debu lain mengenai wajahnya itu, lalu ia menghilangkan debu baru tersebut dari wajahnya dan memindahnya ke tangan. (3) Atau meskipun dari tangan ke wajah (4) atau dari tangan ke tangan lain (dari tangan kanan ke kiri (5) atau dari kiri ke kanan). Jadi contoh pemindahan debu ada 5 (lima). Pihak yang memindah debu adalah mutayamim sendiri. Sama sepertinya adalah makdzun (orang lain yang diberi izin) untuk memindahkan debu ke anggota tubuh mutayamim meskipun makdzun tersebut adalah orang kafir, atau shobi yang belum tamyiz, atau perempuan lain sekiranya tidak membatalkan sebab saling bersentuhan, atau orang gila, atau hewan semisal monyet. Jadi, harus ada izin dalam contoh pemindahan debu yang dilakukan oleh makdzun tersebut agar dapat mengecualikan seorang fudhuli, yaitu orang lain yang tidak menyengaja memindah debu sehingga pemindahannya belum mencukupi. Apabila salah satu dari mutayamim dan makdzun mengalami hadats setelah memindah debu dan belum mengusapkan maka tidak apa-apa karena mutayamim yang selaku pihak yang mengizinkan bukanlah pihak yang memindah debu dan makdzun bukanlah pihak yang bertayamum. Baca: perkara yang diharamkan sebab hadats kecil Niat tayamumMaksudnya, rukun tayamum yang kedua adalah berniat, misalnya; mutayamim berniat istibahah sholat (agar diperbolehkan melakukan sholat). Dalam niat, tidak ada perbedaan antara apakah mutayamim menjelaskan hadasnya, misalnya ia berkata, “Aku berniat istibahah sholat dari hadas kecil,” atau, “... dari hadas besar,” atau tidak menjelaskannya. Atau mutayamim bisa juga berniat tayamum dengan mengatakan, “Aku berniat istibahah (agar diperbolehkan) menyentuh mushaf,” atau, “... sujud tilawah.” Dalam niat, mutayamim tidak boleh berniat tayamum karena menghilangkan hadas karena tayamum tidak dapat menghilangkan hadas, dan tidak boleh berniat bersuci dari hadas, dan tidak boleh berniat fardhu tayamum karena tayamum adalah toharoh dhorurot yang tidak layak dijadikan sebagai tujuan pokok. Apabila mutayamim ingin melakukan sholat fardhu maka ia wajib berniat istibahah fardhu sholat (agar diperbolehkan melakukan sholat fardhu). Diwajibkan membarengkan niat dengan memindah debu karena memindah debu adalah rukun tayamum yang pertama sedangkan tempat niat berada di permulaan kegiatan wajib. Begitu juga, diwajibkan membarengkan niat dengan mengusap sebagian dari wajah. Tidak apa-apa jika niat hilang pada saat antara memindah debu dan mengusap sebagian dari wajah. Apabila mutayamim mengalami hadas pada saat antara memindah debu dan mengusap sebagian dari wajah maka apabila mutayamim adalah pihak yang memindah debu sendiri maka niatnya batal, tetapi apabila pihak yang memindah debu adalah makdzun (orang lain yang diberi izin untuk memindahnya) maka niatnya tidak batal. Mengusap wajahRukun tayamum yang ketiga adalah mengusap wajah, bahkan sampai bagian dzohir dari bagian menurunnya jenggot dan bagian depan hidung di atas bibir, karena Firman Allah, “Kemudian usaplah wajah kalian dan tangan kalian. Tidak wajib mendatangkan debu sampai tempat-tempat yang ditumbuhi rambut dimana wajib mendatangkan air padanya (saat berwudhu), bahkan tidak disunahkan mendatangkan debu padanya meskipun rambut yang tumbuh itu tipis karena sulit (masyaqoh). Mengusap kedua tanganMaksudnya, rukun tayamum yang kedua adalah mengusap kedua tangan sampai kedua siku-siku. Sayyid Yusuf Zubaidi berkata dalam Irsyad al-Anam, “Tatacara bertayamum yang disunahkan, seperti keterangan yang disebutkan dalam kitab ar-Roudhoh, adalah bahwa mutayamim meletakkan bagian dalam jari-jari tangan kiri selain ibu jari di atas bagian luar jari-jari tangan kanan selain ibu jari, sekiranya ujung jari- jari tangan kanan tersebut tidak keluar dari batas jari telunjuk kiri. Lalu ia menjalankan jari-jari tangan kiri di atas bagian luar telapak tangan kanan. Ketika telah sampai pada pergelangan tangan, ia merapatkan jari-jari tangan kirinya dan menjalankannya di atas bagian luar lengan tangan kanan sampai siku-siku. Lalu ia memutar bagian dalam telapak tangan kiri untuk mengusap bagian dalam lengan tangan kanan dan menjalankannya sambil mengangkat ibu jari. Setelah itu, ketika telah sampai pada pergelangan tangan, ia menjalankan bagian dalam ibu jari-jari kiri di atas bagian luar ibu jari kanan. Terakhir, ia mengusap tangan kiri dengan cara yang sama seperti yang telah disebutkan. Setelah terusap, ia saling mengusapkan kedua telapak tangan.” TERTIBMaksudnya, rukun tayamum yang kelima adalah tertib antara dua usapan meskipun bertayamum dari hadas besar. Adapun mengapa tertib tidak diwajibkan dalam mandi karena ketika perkara yang diwajibkan dalam mandi adalah meratakan air ke seluruh tubuh maka tubuh dalam mandi dianggap sebagai satu anggota. Adapun antara dua kali memindah debu maka tidak diwajibkan harus tertib karena tujuan pokok adalah mengusap sedangkan memindah hanya perantara. Apabila mutayamim memukulkan kedua tangan di atas debu dan ia mengusapkan satu tangan ke wajah dan mengusapkan satu tangan lain ke tangan misal kanan, maka hukumnya boleh, lalu ia memukul debu lagi dan mengusapkan ke tangan kiri. Kesunahan-kesunahan TayamumKesunahan-kesunahan tayamum diantaranya: 1. Membaca basmalah di awal tayamum meskipun mutayamim adalah orang yang junub atau haid, seperti dalam wudhu, tetapi ia membaca basmalah dengan maksud berdzikir atau memutlakkan. 2. Mengibaskan kedua tangan atau meniup keduanya setelah memukul debu dan sebelum mengusap jika memang debu yang diambil itu banyak. Adapun mengibaskan kedua tangan setelah tayamum maka hukumnya makruh karena mutayamim disunahkan membiarkan debu tayamum sampai ia selesai dari sholat karena debu tayamum itu adalah bekas ibadah. 3. Mendahulukan anggota kanan sekiranya mutayamim mengusap terlebih dahulu tangan kanan sebelum ia mengusap tangan kiri. 4. Menghadap Kiblat. 5. Mengawali mengusap wajah dari bagian atas wajah dan mengawali mengusap kedua tangan dari jari-jarinya. Akan tetapi, apabila mutayamim ditayamumi oleh orang lain maka orang lain tersebut mengawali usapan tangan dari siku-siku, bagian ghurroh dan tahjil. 6. Membenggangkan jari-jari di setiap memukul debu. 7. Melepas cincin di pukulan debu pertama. 8. Menyela-nyelai jari-jari apabila mutayamim membenggangkannya di dua pukulan atau di pukulan kedua saja. Apabila ia tidak membenggangkan jari-jari sama sekali di dua pukulan atau apabila ia hanya membenggangkannya di pukulan pertama yang untuk mengusap wajah maka ia wajib menyela-nyelai jari-jari di pukulan kedua karena pukulan kedua tersebut bertujuan untuk mengusap kedua tangan, berbeda dengan pukulan pertama karena ia bertujuan untuk mengusap wajah sedangkan debu yang mengenai kedua tangan dari pukulan pertama tidak dianggap sehingga dibutuhkan untuk menyela-nyelai jari-jari agar menghasilkan adanya tertib antara dua usapan. 9. Muwalah antara mengusap wajah dan mengusap kedua tangan. Kemakruhan-kemakruhan Tayamum(Tadzyil) Kemakruhan tayamum adalah mengulang-ulang debu, maksudnya menggosok-gosokkan debu, dan mengulang-ulang usapan di setiap anggota-anggota tayamum.
Terjemah Kasyifatussaja - Fasal ini menjelaskan tentang perkara-perkara yang diharamkan sebab hadas kecil (asghor), sedang (mutawasit), dan besar (akbar). 1. Perkara-perkara yang Diharamkan Sebab Hadas Kecil (Asghor) Barang siapa telah batal wudhunya maka diharamkan atasnya 4 (empat) perkara, yaitu; 1. Sholat(Orang yang telah batal wudhunya atau yang tengah menanggung hadas kecil tidak diperbolehkan melakukan sholat) sekalipun itu sholat sunah, sholat jenazah. Karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, “Allah tidak akan menerima sholat yang dilakukan oleh salah satu dari kalian ketika ia telah menanggung hadas sampai ia berwudhu terlebih dahulu,” maksudnya, Allah tidak akan menerima sholat salah satu dari kalian ketika hadas ditanggungnya sampai ia berwudhu terlebih dahulu agar Dia menerima sholatnya. Dikecualikan yaitu faqid tuhuroini (orang yang tidak mendapati dua alat toharoh, yaitu air dan debu), maka ia melakukan sholat fardhu (tanpa bersuci, dalam hal ini, tanpa berwudhu), bukan sholat sunah, karena lihurmatil waqti. Dan ketika ia telah mendapati salah satu dari air atau debu, ia mengqodho sholatnya itu. Baca juga: macam-macam air Masuk dalam makna sholat adalah khutbah Jumat, Sujud Tilawah, dan Sujud Syukur, (artinya, ketika seseorang telah menanggung hadas dan belum berwudhu, ia tidak diperbolehkan melakukan khutbah Jumat dst.) Baca juga; yang membatalkan wudhu towaf(Orang yang telah batal wudhunya atau yang tengah menanggung hadas kecil tidak diperbolehkan melakukan) towaf, baik towaf fardhu atau sunah, seperti; towaf qudum, karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Hakim, “Towaf menduduki kedudukan sholat. Hanya saja, Allah memperbolehkan berbicara di dalam towaf (bukan sholat). Barang siapa berbicara (saat towaf) maka janganlah ia berbicara kecuali kebaikan.” Menyentuh Mushaf(Orang yang telah batal wudhunya atau yang tengah menanggung hadas kecil tidak diperbolehkan menyentuh mushaf. Pengertian mushaf adalah setiap benda yang diatasnya tertulis al- Quran untuk tujuan dirosah (dipelajari yang mencakup dibaca) sekalipun benda tersebut adalah kayu, papan, kulit binatang, atau kertas. Dikecualikan yaitu tamimah atau azimat. Pengertian tamimah adalah setiap benda yang didalamnya terdapat sedikit tulisan al-Quran untuk tujuan tabarruk (mengharap keberkahan) dan dikalungkan di atas, misalnya, kepala. Maka orang yang telah batal wudhunya tidak diharamkan menyentuh dan membawa tamimah selama tamimah tersebut menurut urf-nya tidak disebut sebagai mushaf. Ketika seluruh al-Quran ditulis maka tidak bisa disebut sebagai tamimah meskipun bentuknya diperkecil sekali dan meskipun tidak ada tujuan menjadikan tulisan seluruh al-Quran tersebut sebagai tamimah. Jadi, tidak ada ibroh (ketetapan hukum) bagi tujuannya tersebut. Baca juga: rukun wudhu Ibnu Hajar berkata, “Ibroh (ketetapan hukum) terkait tujuan dirosah dan tabarruk tergantung pada kondisi tulisan dan penulis, baik penulis tersebut menulis al-Quran untuk dirinya sendiri atau ia memang sukarela menuliskannya untuk orang lain tanpa adanya upah dan perintah. Jika ada upah dan perintah, maka ibroh-nya tergantung pada kondisi pemberi perintah dan penyewanya.” Nawawi berkata dalam kitabnya at-Tibyan Fi Adabi Hamalati al-Quran, “(Diharamkan atas muhdis atau orang yang menanggung hadas untuk menyentuh mushaf), baik menyentuh tulisan mushaf itu sendiri, atau pinggirnya, atau sampulnya. Diharamkan atas muhdis menyentuh kantong, sampul, dan peti kecil yang di dalamnya terdapat mushaf. Hukum keharaman ini adalah pendapat madzhab yang dipilih. Menurut qiil, tidak diharamkan atas muhdis menyentuh kantong, sampul, dan peti kecil tersebut. Qiil ini adalah pendapat dhoif. Apabila seseorang menulis al-Quran di atas papan maka hukum papan tersebut adalah seperti hukum mushaf, baik sedikit atau banyak tulisannya, bahkan apabila ia hanya menulis sebagian ayat al-Quran dengan tujuan dirosah maka diharamkan atasnya yang sedang menanggung hadas untuk menyentuhnya.” Nawawi juga berkata dalam kitabnya at-Tibyan, “Lafadz ‘اﳌﺼﺤﻒ’ memiliki tiga bahasa, yaitu dengan dhommah, fathah, dan kasroh pada huruf /م/. Yang masyhur adalah yang dengan dhommah dan kasroh, sedangkan yang dengan fathah telah disebutkan oleh Abu Hafs an-Nuhas dan selainnya.” Syabromalisi berkata, “Menurut pendapat dzohir, menyentuh mushaf disertai menanggung hadas bukan termasuk dosa besar. Berbeda dengan melakukan sholat, towaf, sujud tilawah, dan sujud syukur, disertai menanggung hadas maka termasuk dosa besar.” membawa mushaf(Orang yang telah batal wudhunya atau yang tengah menanggung hadas kecil tidak diperbolehkan membawa mushaf), kecuali apabila mushaf yang dibawanya bersamaan dengan barang- barang lain, maka ia diperbolehkan membawa mushaf karena diikut sertakan pada barang-barang lain tersebut, dengan catatan, jika memang ia tidak menyengaja mushaf saja sekiranya ia tidak menyengaja apapun atau ia hanya menyengaja barang-barang lain tersebut, dan juga, atau ia menyengaja mushaf dan barang-barang lain tersebut menurut pendapat mu’tamad.
Berbeda, apabila ia hanya menyengaja mushaf, atau ia menyengaja salah satu dari mushaf atau barang-barang lain tersebut tanpa menentukan mana yang sebenarnya dimaksud, maka diharamkan atasnya membawa mushaf. Dalam masalah orang yang menanggung hadas kecil yang membawa mushaf beserta barang-barang lain, seperti yang baru saja disebutkan, tidak disyaratkan barang-barang lain tersebut adalah wadah bagi mushaf. Diperbolehkannya membawa mushaf dalam masalah ini adalah sekiranya ia tidak dianggap sebagai penyentuh mushaf, misalkan, ia memberi cantolan pada barang-barang lain itu, kemudian ia membawanya, karena menyentuh mushaf saja atas orang yang menanggung hadas kecil dihukumi haram meskipun disertai penghalang dan meskipun tanpa tujuan tertentu. Nawawi berkata dalam kitabnya at-Tibyan, “Kaum muslimin telah bersepakat bahwa wajib menjaga mushaf dan memuliakannya. Para ashab kami dan lainnya berkata, ‘Andaikan seorang muslim menjatuhkan mushaf di tempat sampah, naudzu billah, maka ia telah kufur.’ Mereka juga berkata, ‘Diharamkan bantalan dengan mushaf, bahkan diharamkan bantalan dengan buku ilmu agama.’ Seseorang disunahkan berdiri karena memuliakan mushaf, yakni ketika mushaf dibawakan kepadanya . Oleh karena berdiri untuk menghormati para ulama dan para kyai saja disunahkan, maka berdiri karena memuliakan mushaf tentu lebih utama untuk dihukumi sunah.” Terjemah Kasyifatussaja - Fasal ini menjelaskan tentang air yang tidak dapat menolak kenajisan dan yang dapat menolaknya. Syeh Salim bin Sumair al-Khadromi berkata bahwa [air] menurut kaidah syariat dibagi menjadi dua, yaitu air [yang sedikit dan yang banyak. Air sedikit adalah air yang kurang dari dua kulah] sekiranya kurangnya dari dua kulah tersebut adalah lebih banyak dari dua kathi. [Sedangkan air banyak adalah air dua kulah atau lebih] dengan catatan air tersebut adalah air murni secara yakin meskipun berupa air musta’mal. Ukuran timbangan air dua kulah adalah 500 Rithl Baghdad yang sama dengan 64. 285 dirham lebih 5/7 dirham karena per Rithl Baghdad adalah 128 dirham lebih 4/7 dirham. Adapun dengan ukuran Rithl Mekah, maka dua kulah adalah 412 rithl lebih 13 dirham lebih 5/7 dirham dengan alasan karena per rithl adalah 156 dirham. Demikian ini disebutkan oleh Muhammad Sholih ar-Rois. Adapun dengan ukuran rithl Thoif, maka dua kulah adalah 327 rithl lebih 2/3 rithl, karena setiap rithl Thoif adalah 196 dirham, seperti yang ditanbihkan oleh Abdullah al-Murghini di dalam kitab Miftah Fallah al-Mubtadi. Adapun dengan rithl Mesir, dua kulah adalah 446 rithl lebih 3/7 rithl. Adapun dengan rithl Damaskus, maka dua kulah adalah 107 rithl lebih 1/7 rithl.33 Ukuran dua kulah menurut ukuran ruang kubus adalah dengan panjang, lebar, dan tinggi 1 ¼ dzirok dengan ukuran dzirok anak Adam, yaitu kurang lebih dua jengkal. Dua kulah menurut ukuran ruang lingkaran adalah dengan tinggi 2 dzirok tukang besi, dan diameter 1 dzirok anak Adam. Dengan demikian, dengan ukuran dzirok tangan anak Adam, maka dua kulah adalah dengan diameter 1 dzirok dan tinggi 2 ½ dzirok karena dzirok tukang besi dengan dzirok anak Adam selisih 1 ¼ dzirok. Ukuran dua kulah dalam ruang segi tiga sama sisi adalah dengan panjang dan lebar 1 ½ dzirok dan tinggi 2 dzirok dengan ukuran dzirok anak Adam. Lebar adalah bagian antara dua sisi sedangkan panjang adalah bagian 2 sisi yang lain. hukum air sedikit[Air sedikit,] maksudnya hukum air sedikit dapat [menjadi najis karena kejatuhan najis] (macam macam najis) yang menajiskan secara yakin [meskipun air sedikit tersebut tidak berubah] karena berdasarkan pemahaman dari sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Ketika air mencapai dua kulah maka tidak mengandung kotoran,” dan dalam riwayat lain, kata kotoran diganti dengan kata najis. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa air yang kurang dua kulah dapat mengandung najis. Najis-najis yang Ma’fu pada AirMengecualikan dengan pernyataan najis yang menajiskan adalah najis ma’fu atau najis yang dimaafkan (pada air), seperti;
Patokan atau kaidah dalam najis-najis ma’fu (pada air sedikit) di atas adalah bahwa hukum ma’fu didasarkan pada kesulitan menghindari najis pada umumnya. Menurut pendapat mu’tamad disebutkan bahwa tidaklah dima’fu darah nyamuk, kutu, dan lainnya jika terjatuh ke benda cair atau air sedikit, meskipun darah itu sedikit. Berbeda apabila darah binatang tersebut jatuh ke air yang banyak. Apabila ada seseorang membunuh kutu atau nyamuk dengan jari-jarinya, maka apabila darah yang keluar itu banyak maka darah tersebut tidak dima’fu, dan apabila darah tersebut sedikit maka dihukumi ma’fu menurut pendapat Ashoh. Mengecualikan dengan najis ma’fu yang berupa asap najis yang keluar dari bakaran api adalah asap najis yang keluar bukan karena bakaran api, maka asap ini dihukumi suci. Dan angin (bau) yang keluar dari jamban atau dubur dihukumi suci. Apabila ada geriba dipenuhi dengan angin tersebut, kemudian seseorang memanggulnya, kemudian ia sholat dengan membawa geriba tersebut, maka sholatnya sah. hukum air banyak[Air banyak tidak menjadi najis] sebab terkena najis [kecuali rasanya] saja [telah berubah atau warnanya] saja [atau baunya] saja dimana perubahan tersebut terjadi setelah air banyak itu terkena najis. Apabila air banyak (terkena najis), beberapa waktu kemudian, air tersebut baru berubah, maka tidak dihukumi najis selama tidak diketahui kalau ahli khibroh mengatakan bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh najis yang sebelumnya telah mengenainya. Mengecualikan dengan pernyataan sebab terkena najis adalah apabila ada najis di dekat air banyak, karena saking dekatnya, bau najis tersebut menyebabkan air banyak menjadi berubah, maka air banyak yang telah berubah tersebut tidak dihukumi najis karena tidak ada unsur pertemuan antara keduanya, tetapi hanya sebatas membaui. Yang dimaksud dengan air mutanajis yang berubah adalah sekiranya air tersebut berubah total atau semua. Apabila najis hanya merubah sebagian air dan tidak merubah sebagian air yang lain maka apabila sebagian air yang lain yang tidak berubah adalah dua kulah maka tidak dihukumi mutanajis. Sedangkan sebagian air yang berubah dihukumi mutanajis. Tidak wajib menghindari najis yang berada di dalam air dengan ukuran dua kulah bahkan boleh mencibuk air dari sisi najisnya. Tidak ada perbedaan dalam air banyak yang berubah sebab najis tentang apakah perubahan tersebut banyak atau sedikit, dan tidak ada perbedaan tentang apakah perubahan tersebut sebab najis yang mencampuri (larut) atau hanya berdampingan (tidak larut), dan tidak ada perbedaan tentang apakah air itu biasa terhindar dari najis atau tidak, dan tidak ada perbedaan tentang apakah najis tersebut berupa bangkai yang tidak mengalirkan darah atau tidak, karena beratnya masalah najis, dan meskipun perubahan tersebut bersifat taqdiri atau mengira-ngirakan, seperti; air kejatuhan sebuah najis yang memiliki sifat-sifat yang sama dengan air, seperti air kencing yang sudah hilang bau, warna, dan rasa, maka dikira-kirakan air tersebut berubah dengan rasa cuka, warna tinta, dan bau misik, kemudian, apabila air kencing yang mengenai air sebanyak satu kati, maka kita mengatakan, “Apabila cuka sebanyak satu kati menjatuhi air tersebut, maka apakah air tersebut berubah rasanya atau tidak? Apabila ahli khibroh mengatakan, ‘Berubah,’ maka kita menghukumi air tersebut najis. Kemudian apabila mereka mengatakan, ‘Tidak berubah,’ maka kita bertanya, ‘Apabila tinta sebanyak satu kati menjatuhi air tersebut maka apakah warna air berubah atau tidak?’ Apabila mereka berkata, ‘Berubah,’ maka kita menghukumi air tersebut najis, dan apabila mereka mengatakan, ‘Tidak berubah,’ maka kita bertanya lagi, ‘Apabila misik satu kati menjatuhi air tersebut maka apakah bau air tersebut berubah atau tidak?’ Apabila mereka berkata, ‘Berubah,’ maka kita menghukumi air tersebut najis, dan apabila mereka berkata, ‘Tidak berubah,’ maka kita baru menghukumi air tersebut suci.” Perkiraan di atas adalah apabila najis yang mengenai air tidak diketahui sifat-sifatnya yang berjumlah tiga (bau, rasa, dan warna). Apabila sebagian sifat tidak diketahui ketika mengenai air, maka hanya dikira-kirakan sifat yang tidak diketahui tersebut karena tidak ada fungsinya mengira-ngirakan sifat-sifat yang diketahui. Perkiraan di atas kita sebut dengan PERKIRAAN PERBEDAAN BERAT. Hukum Air Mutaghoyyir (Air yang Berubah Sebab Benda Suci)Adapun air yang berubah banyak secara yakin sebab benda yang mencampurinya, sekiranya tidak dapat memisahkan perubahan tersebut dari air atau air tidak dapat dibedakan menurut pandangan mata (sederhananya kita mengatakan perubahan tersebut larut dalam air), dimana benda tersebut adalah suci dan dapat dihindarkan dari air sekiranya mudah (bagi kita) menjaga air dari benda tersebut, dan benda tersebut bukanlah debu atau garam air yang sengaja dibuang ke dalamnya, dimana perubahannya adalah perubahan yang dapat mencegah kemutlakan air, maka air yang berubah ini tidak mensucikan meskipun dua kulah selama benda yang mencampuri air bukanlah air mustakmal. Sedangkan apabila benda yang mencampurinya adalah air mustakmal maka air yang dikenainya serta air mustakmalnya adalah suci mensucikan apabila campuran keduanya mencapai dua kulah. Apabila perubahan pada air mutaghoyyir adalah perubahan yang taqdiri (secara perkiraan), misal; air tercampuri benda yang memiliki kesamaan sifat dengan air itu sendiri, seperti air mawar yang hilang bau, rasa, dan warna, maka kita mengira-ngirakannya dengan PERKIRAAN PERBEDAAN YANG SEDANG antara sifat-sifat yang tinggi dan rendah. Kita mengira-ngirakan sifat rasa dengan rasa delima, sifat warna dengan warna anggur, dan sifat bau dengan bau luban. Maksudnya kita mengira-ngirakan dengan mengatakan, “[1] Apabila air tersebut terjatuhi anggur maka apakah warna air tersebut berubah? Apabila ahli khibroh mengatakan, ‘Berubah,’ maka air tersebut tidak mensucikan. Apabila mereka mengatakan, ‘Tidak berubah,’ maka apakah rasa air tersebut berubah bila terjatuhi delima? Apabila mereka mengatakan, ‘Berubah’ maka air tersebut tidak mensucikan. Apabila mereka mengatakan, ‘Tidak berubah,’ maka apakah air tersebut berubah bau ketika terjatuhi luban? Apabila mereka mengatakan, ‘Berubah’ maka air tersebut tidak mensucikan. Apabila mereka mengatakan, ‘Tidak berubah,’ maka air tersebut dihukumi (suci) yang mensucikan. Dengan demikian, perkiraan nomer tidaklah ditanyakan kecuali ketika perkiraan tidak merubah air, dan perkiraan nomer tidaklah ditanyakan ketika perkiraan tidak merubah air. Mengecualikan dengan air mutaghoyyir dengan perubahan banyak oleh benda-benda di atas adalah air-air yang berubah yang tetap dihukumi suci mensucikan; yaitu;
Dengan demikian, air-air dalam contoh di atas adalah air yang suci mensucikan. Termasuk benda yang air tidak dapat dihindarkan darinya, selain benda yang ada di tempat mengalir air dan tempat salurannya, adalah kotoran-kotoran yang berasal dari kaki orang-orang yang dibasuh dalam suatu saluran tertentu, dan kotoran yang terpisah dari tubuh orang yang menyelam (berenang), maka kotoran-kotoran ini tidak dapat menghilangkan sifat mensucikannya air, demikan ini disebutkan oleh Suwaifi. Dikecualikan juga, maksudnya air yang berubah dihukumi suci mensucikan, yaitu air yang berubah dengan perubahan yang disebabkan oleh debu atau garam air yang sengaja dibuang ke dalamnya, meskipun perubahan tersebut banyak, dan perubahan yang disebabkan oleh lamanya diam karena tidak tercampur oleh apapun sehingga air yang berubah semacam ini adalah suci mensucikan. Begitu juga, air yang berubah sebab air mustakmal yang dicampurkan dengannya, kemudian campuran tersebut mencapai dua kulah, maka air campuran ini adalah suci mensucikan meskipun jika diperkirakan dengan perkiraan sedang, air mustakmal tersebut merubah air yang dicampurinya. Ketahuilah! Sesungguhnya mengira-ngirakan yang disebutkan di atas adalah hukumnya sunah, tidak wajib. Apabila seseorang dengan langsung menggunakan air yang tercampur oleh air mustakmal tersebut maka sudah mencukupi baginya karena hakikatnya adalah bahwa ia ragu tentang perubahan yang membahayakan air sedangkan asalnya adalah tidak adanya perubahan tersebut. hukum air yang mengalir(Ketahuilah!) Sesungguhnya hukum-hukum air yang mengalir adalah seperti hukum-hukum air yang diam tenang seperti yang telah disebutkan. Akan tetapi, objek hukum dalam air yang mengalir adalah aliran air itu sendiri, bukan seluruh air, karena aliran-aliran air itu saling terpisah secara hukum meskipun secara kasat mata terlihat saling sambung menyambung.
Alasan mengapa aliran-aliran air saling terpisah secara hukum adalah karena masing- masing aliran mengalir maju hendak mengenai bagian depannya dan menjauh dari bagian belakangnya. Dari keterangan di atas, maka apabila jumlah aliran air yang mengalir yang berada di antara dua sisi sungai kurang dari dua kulah maka dapat menjadi najis karena mengenai najis, baik berubah atau tidak, dan tempat atau medan aliran tersebut juga najis. Kemudian medan aliran tersebut dapat suci dengan terbasuh oleh aliran setelah aliran yang pertama tadi. (Suci tidaknya) tempat atau medan aliran tersebut disesuaikan dalam hukum basuhan najis sehingga apabila najisnya adalah najis mugholadzoh maka wajib adanya tujuh aliran yang membasuh najis tersebut dan wajib adanya unsur tercampur debu apabila tempat atau medan aliran air bukanlah medan yang berdebu. Hukum medan aliran air pertama yang suci dengan basuhan aliran air setelahnya ini adalah apabila najisnya ikut hanyut terbawa arus aliran air. Sedangkan apabila najis yang mengenai adalah najis keras yang diam di dalam air maka medan aliran air menjadi najis dan setiap aliran yang melewatinya pun dihukumi najis hingga apabila air terkumpul dalam satu muara dan mencapai dua kulah, seperti tampungan air mancur, maka air tersebut baru dihukumi suci mensucikan ketika tidak mengalami perubahan sebab najis yang mengenainya tadi. Dari rincian hukum di atas, kami para ulama Fiqih memiliki pernyataan teka-teki (Jawa: Cangkriman), “Kami memiliki air sebanyak 1000 kulah yang tidak berubah karena dikenai najis, tetapi hukum air sebanyak itu adalah najis,” maksudnya, air yang mengaliri najis yang diam selama air tersebut belum terkumpul dalam satu muara maka tetap dihukumi najis meskipun medan aliran sangatlah panjang, dan perkiraannya adalah bahwa setiap aliran air (yang melewati najis tersebut) adalah lebih sedikit dari dua kulah. Adapun aliran air yang tidak mengalir mengenai najis, yaitu aliran air yang berada di atas najis, maka dihukumi tetap sebagai air suci yang mensucikan. [MASALAH] Ada sebuah jamaah yang wajib atas mereka untuk buang air kencing dan mengumpulkannya untuk digunakan bersuci, maksudnya, pernyataan ini terjadi dalam kasus apabila mereka mendapati air dua kulah atau lebih, tetapi air tersebut tidak cukup bagi mereka untuk bersuci, maka apabila air tersebut dicampurkan dengan air kencing mereka, kemudian dikira-kirakan dengan perkiraan yang paling berat dan ternyata air kencing itu tidak sampai merubah air, maka wajib bagi mereka mencampurkan air kencing ke dalam air banyak itu dan wajib menggunakannya untuk bersuci. Adapun dalam kasus ini dibutuhkan adanya mengira-ngirakan padahal air kencing tersebut secara kasat mata tidak merubah air, karena masih adanya kemungkinan perubahan secara kira-kira juga. Dan perubahan secara kira-kira ini juga berbahaya, dalam artian dapat menajiskan air. |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. ArchivesCategories |